Welcome!

I am John Doe Web Designer Photography

View Work Hire Me!

About Me

Web Design
Branding
Development
Who am i

John Doe.

Professional Web Designer

Nulla metus metus ullamcorper vel tincidunt sed euismod nibh Quisque volutpat condimentum velit class aptent taciti sociosqu ad litora.

Nulla metus metus ullamcorper vel tincidunt sed euismod nibh Quisque volutpat condimentum velit class aptent taciti sociosqu ad litora torquent metus metus ullamcorper vel tincidunt sed class aptent taciti sociosqu ad litora .

Services

Web Design

Nulla metus metus ullamcorper vel tincidunt sed euismod nibh Quisque volutpat

Development

Nulla metus metus ullamcorper vel tincidunt sed euismod nibh Quisque volutpat

Branding

Nulla metus metus ullamcorper vel tincidunt sed euismod nibh Quisque volutpat

Marketing

Nulla metus metus ullamcorper vel tincidunt sed euismod nibh Quisque volutpat

Our Blog

Penyakit Viral Ternak ENZOOTIC BOVINE LEUKOSIS (EBL)

  ENZOOTIC BOVINE LEUKOSIS (EBL)


Sinonim : bovine Lymphomatosis, Bovine Lymphomacytosis, Cattle Leukemia,

Lymphosarkoma, Lymphomamaligna


A.  PENDAHULUAN

Enzootic Bovine leukosis (EBL) merupakan penyakit viral yang sangat fatal pada sapi dewasa, bersifat neoplastik ganas, dengan manifestasi kinis berupa proliferasi dari jaringan limfoid. Pada kondisi lanjut dapat disertai limfomatosis yang bersifat persisten. Sebagian besar infeksi bersifat subklinis akan tetapi kurang Iebih 30% nya akan berkembang manjadi limfositosis dan sebagian menjadi limfosarkoma dengan tumor di beberapa organ.


B.  ETIOLOGI

Penyebab EBL adalah virus bovine leukosis, yaitu oncovirus tipe C dari subfamili Oncovirinae, famili Retroviridae. Partikel virus adalah single stranded Ribonucleic Acid (ss-RNA) yang menghasilkan poliprotein yang terdiri dari empat macam, yakni nukleoprotein p12, protein kapsid p24, transmembran glikoprotein gp30 dan glikoprotein amplop gp5l dan beberapa enzim seperti reverse transkriptase.

Virus berukuran 70-110 nm, berbentuk bulat kasar, bersifat pleomorfi k, diselubungi amplop.

Gambar 1. Struktur skematik virus EBL.



(Sumber : http://www.idexx.com/pubwebresources/images/en_us/livestockpoultry/

news/blvirus.png.)


C.  EPIDEMIOLOGI

1.    Sifat Alami Agen

Virus bovine leukosis peka terhadap pengaruh alam. virus mati/inaktif pada pemanasan 74ºC selama 16 detik, 60ºC selama 30-60 menit. Virus menjadi mati/inaktif pada pH 4,8 atau dengan pemberian fenol 0,5% dan formalin 0,25%.

Virus dapat dibiakkan pada selaput korio alantois telur ayam berembrio, kultur sel limfosit atau jaringan limpa hewan yang peka biasanya menggunakan foetal lamb kidney. Di dalam kultur sel, virus berkembang di dalam sitoplasma dengan membentuk sinsitium (sel multinuklear).

2.    Spesies Rentan

Semua bangsa sapi peka terhadap infeksi virus bovine leukosis. Selain sapi, EBL juga menyerang domba, kambing, babi, kuda, rusa dan kerbau meskipun kejadiannya sangat jarang.

3.    Pengaruh Lingkungan

Transmisi alami biasanya terjadi pada sapi umur Iebih dari 1,5 tahun, terutama pada bulan-bulan musim panas dimana kontak Iangsung antar hewan Iebih sering dan kemungkinan oleh adanya serangga.

4.     Sifat Penyakit

EBL merupakan penyakit pada hewan dewasa, dijumpai hanya pada hewan diatas umur 2 tahun dan umumnya dijumpai pada umur 4-8 tahun. Penyebarannya yang relatif lambat menunjukan penyakit ini tidak terlalu kontagius. Tingginya angka kejadian pada sapi perah mungkin disebabkan oleh karena dalam kelompok sapi perah jumlah sapi dewasa Iebih banyak dengan cara pemeliharaan yang Iebih tertutup, serta waktu pemeliharaan lebih lama (hingga 10 tahun).

Gejala klinis sangat bervariasi, mulai tanpa gejala sampai yang mengalami gangguan sistemik yang berat, yang berlanjut ke limfositosis persisten dan pembentukan tumor. Kejadian penyakit Iebih kecil dibandingkan dengan kejadian infeksi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik dan Iingkungan. Hanya sekitar 15% anak yang dilahirkan dari induk penderita akan mengalami infeksi. Kurang dari 5% sapi yang mengalami infeksi menunjukkan gejala limfosarkoma dan kurang dari 30% sapi penderita akan memperlihatkan limfomatosis persisten. EBL akan menyebabkan limfomatosis persisten bila penyakit telah berjalan sangat lama, pada umur lebih dari 5 tahun.

5.     Cara Penularan

Penularan terjadi baik sesara horisontal maupun vertikal. Secara vertikal melalui induk kepada anaknya selama masa kebuntingan, kolostrum, susu dan selama proses kelahiran. Penularan secara horisontal merupakan cara penularan yang utama antar hewan dan membutuhkan kontak Iangsung dalam waktu yang lama. Secara mekanis penularan dapat terjadi melalui jarum suntik dan alat alat operasi yang tercemar virus, gigitan serangga, atau melalui darah terutama pada luka trauma. Di daerah tropis, seperti Venezuela, kejadian EBL sangat tinggi karena vektor adanya insekta penghisap darah dalam jumlah tinggi. 

Stomoxys calcitrans telah terbukti dapat menularkan penyakit. Secara buatan EBL dapat ditularkan dengan menyuntikkan 0,0005 ml darah yang mengandung 2.500 limfosit.

6.     Distribusi Penyakit

EBL pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 di Jerman. Penyakit ini ditemukan di Amerika Serikat, Norwegia, Denmark, Jerman, Jepang, Swedia Australia, New Zealand, Philipina dan mungkin sudah tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian bervariasi dari 4 sampai 24,3%.

Negara yang memiliki industri sapi perah yang dikelola secara intensif memiliki angka kejadian tertinggi, seperti Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia dan Jepang.

Di Indonesia, secara serologis EBL pernah dilaporkan di wilayah Surabaya, Cilacap dan Sukabumi. Pada bedah bangkai terjadi pembengkakan di beberapa organ dan kelenjar limfe.


D.  PENGENALAN PENYAKIT

1.     Gejala Klinis

Masa inkubasi penyakit sangat lama dan pada penularan di alam masa inkubasi tidak diketahui secara pasti. Pada sapi dewasa sebagian besar (75-90%) menunjukkan adanya pembesaran hampir di semua organ, tetapi abomasum, jantung, organ visceral dan kelanjar limfe merupakan organ yang paling sering terkena. Pada umumnya penyakit berkembang sangat cepat, hewan menjadi kurus dan dapat diikuti adanya kematian. 

Gejala Klinis yang nampak tergantung dari organ yang terlibat, antara lain terdapat gejala syaraf seperti paralisis atau kepincangan, bila tumor menekan sumsum tulang dan syaraf perifer. Perubahan irama (denyut) jantung, hidroperikardium, atau kegagalan jantung kongestif kanan, bila tumor melibatkan jantung. Terjadi perubanan nafsu makan, diare bahkan melemah bila saluran pencernaan terlibat dan terjadi ulserasi pada abomasum. Gejala pernafasan muncul bila terjadi pembesaran kelenjar limfe retrofaringeal. Pada pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya limfositosis. Jumlah limfosit dalam darah dapat mencapai 50.000/mm3.


Gambar 2. Gejala klinis sapi penerita EBL, A) tampak adanya pembesaran kelenjar limfe, B) lesi kulit dan tumor pada kelenjar limfe.

(Sumber : http://www.vetnext.com, http://www.dpi.vic.gov.au/_data/assets/image/0008/58553/ag1175-

enzootic-cow.jpg.)

2.     Patologi

Jaringan limfoid merupakan organ yang paling sering mengalami perubahan leukotik. Pada hampir semua organ ditemukan masa tumor yang berwarna putih. Pada hewan dewasa tumor dapat ditemukan pada jantung, abomasum dan pada sumsum tulang dan mungkin organ lain. Pada sapi yang Iebih muda tumor mungkin ditemukan pada ginjal, kelenjar thymus, hati limpa dan kelenjar limfe superfi sial.

Pada jantung lokasi tumor adalah dinding atrium kanan, atau menyebar ke seluruh miokardium dan perikardium. Pada abomasum terjadi penebalan yang tidak merata pada mukosanya terutama bagian pilorus, kadang juga ditemukan perubahan serupa pada usus dan dapat terjadi ulserasi. Bila terdapat gejala syaraf maka perubahan akan terlihat pada syaraf perifer yang keluar dari lumbar terakhir atau sakral pertama berupa penebalan. Tumor juga dapat ditemukan pada ginjal, ureter dekat pelvis renalis dan uterus.

Kelenjar limfe sangat membesar disebabkan oleh adanya jaringan neoplastik. Kadang jaringan neoplastik dikelilingi oleh jaringan nekrotik yang berwarna kekuning-kuningan. Secara histopatologis tumor terdiri dari sel limfosit.

3.     Diagnosa

Diagnosa dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan darah, patologi-anatomi, serta isolasi dan identifi kasi virus. Secara serologis dapat didteksi antibodi dengan agar gel immmunidiffusion (AGID), complement fixation test (CFT), radio immunoassay (RIA), virus neutralization (VN), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) fluorescene antibody technique (FAT), dan polymerase chain reaction (PCR). Secara histopatologis ditemukan tumor yang terdiri dari sekumpulan sel limfosit. Untuk skreening awal dapat dilakukan dengan penghitungan jumlah leukosit dengan pengukuran buffy coat yang melebihi normal karena adanya peningkatan jumlah leukosit.

4.     Diagnosa Banding

Gejala pada saluran pencernaan harus dibedakan dengan penyakit Johne’s (Paratuberculosis), gejala jantung dapat dikelirukan dengan perikarditis traumatika atau endokarditis, gejala syaraf dapat dibedakan dari Rabies atau adanya abses pada sumsum tulang, sedang gejala pernapasan harus dibedakan dengan Tuberkulosis dan Actinobacillosis.

5.    Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Untuk pemeriksaan histopatologi dapat dikirimkan organ limfoid difiksasi dalam bufer formalin 10%, sedangkan untuk isolasi virus dapat dikirimkan darah yang diberi antikoagulan atau jaringan tumor. Spesimen dikirim ke laboratorium dalam keadaan dingin. Untuk deteksi adanya antibodi dapat segera dikirimkan serum dalam keadaan dingin.


E.  PENGENDALIAN

1.       Pengobatan 

Belum ada pengobatan pada EBL.

2.     Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

Sampai dengan saat ini belum tersedia vaksin untuk pencegahan infeksi EBL. Satu-satunya cara pencegahan yang terpenting adalah test and slaughter. Pengendalian didasarkan pada penyingkiran hewan seropositif dan mempertahankan sistem kompartementalisasi dengan mengimpor sapi dari daerah bebas EBL.


F.  DAFTAR PUSTAKA

Anonimus 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta.

Anonimous 1996. Manual of Standards for Diagnostics and Tests Vacsines. Office Internationale des Epizooties. pp. 276-280.

http://www.vetnext.com.

http://www.dpi.vic.gov.au/_data/assets/image/0008/58553/ag1175-enzootic-cow.jpg

http://www.idexx.com/pubwebresources/images/en_us/livestock-poultry/news/blvirus.png.


Penyakit Viral Ternak Bovine Ephemeral Fever (BEF)

 BOVlNE EPHEMERAL FEVER (BEF)

Sinonim : Ephemeral Fever, Bovine Epizootic Fever, Three-day Sickeness,

Penyakit Demam Tiga Hari, Stiff Zsickness, Penyakit Kaku


A.  PENDAHULUAN

Bovine Ephemeral Fever (BEF) adalah suatu penyakit viral pada sapi yang ditularkan oleh serangga (arthropod borne viral disease), bersifat benign non contagius, yang ditandai dengan demam mendadak dan kaku pada persendian.

Penyakit dapat sembuh kembali beberapa hari kemudian. Dari segi mortalitas penyakit ini tidak memiliki arti penting, tetapi dari segi produksi dan tenaga kerja cukup berarti karena hewan yang sedang laktasi akan turun produksi susunya dan pada hewan pekerja menurunkan kemampuan bekerja sekitar 3 5 hari.


B.  ETIOLOGI

Penyebab BEF merupakan virus Double Stranded Ribonucleic Acid (ds-RNA), memiliki amplop, berbentuk peluru dengan ukuran 80 x 120 x 140 nm yang mempunyai tonjolan pada amplopnya. Virus BEF diklasifi kasikan sebagai Rhabdovirus dari famili Rhabdoviridae, dan masih satu kelompok dengan virus rabies dan vesicular stomatitis. Strain (galur) yang ada memiliki kesamaan secara antigenik, tetapi berbeda dalam hal virulensi.


(Source: https://www.semanticscholar.org/paper/Electron-microscopic-studies-on-bovine-ephemeral-Lecatsas-Theodoridis/2cc883fa3dc812bde4372e80f51bba2369ce581c)

C.  EPIDEMIOLOGI

1.     Sifat Alami Agen

Virus BEF peka terhadap pelarut lemak, seperti ethyl ether 20%, kloroform 5% dan deoxycolate 0,1%. Virus juga dapat diinaktifkan dengan penambahan defco trypsin 1:250 pada konsentrasi 1 % dan 0,5%. Virus BEF tahan selama 8 hari jika berada dalam darah bersitrat yang disimpan dalam suhu 2 - 4° C.

 Dalam suspensi otak mencit terinfeksi di dalam PBS yang mengandung serum sapi 10% menunjukkan sedikit penurunan titer setelah disimpan selama 30 hari pada 4°C. Pada suhu -70° C atau beku kering pada 4°C dapat bertahan dalam beberapa tahun.

Virus BEF akan kehilangan infektivitas pada pH rendah (2,5) atau pH tinggi (12) dalam waktu 10 menit. Virus menjadi inaktif pada suhu 56° C selama 10 menit; suhu 30° C selama 18 jam dan suhu 25° C selama 120 jam . Virus BEF dapat ditumbuhkan pada otak anak mencit atau hamster yang masih menyusu, telur ayam berembrio dan kultur sel. Setelah pasase 6-9 kali secara intraserebral pada anak mencit yang masih menyusu, virus menyebabkan paralisa dan kematian dalam 2-4 hari pasca inokulasi. Virus juga dapat tumbuh pada kultur sel BHK-21 (baby hamster kidney) dan ginjal kera. Cytopathogenic efect (CPE) timbul 48-72 jam pasca inokulasi.

2.     Spesies Rentan

Virus BEF hanya menginfeksi sapi, tetapi pernah dilaporkan pada kerbau. Sapi muda dan sapi dewasa dapat terserang penyakit ini. Sapi yang sembuh dari penyakit BEF dapat kebal selama 2 tahun.

3.     Pengaruh Lingkungan

Pada musim penghujan banyak ditemukan kasus BEF. Penyebaran secara epizootik dipengaruhi oleh vektor dan angin. Angin yang bersifat lembab dan basah dapat memindahkan serangga sejauh 100 km atau lebih.

4.     Sifat Penyakit

Penyakit BEF bersifat sporadik. Masa inkubasi penyakit berkisar antara 2-10 hari dan kebanyakan penderita menunjukkan gejala dalam waktu 2- 4 hari. Angka morbiditas biasanya tinggi, tetapi angka mortalitas rendah (2-5%). Gejala klinis bervariasi dan bahkan tidak semua sapi atau kerbau yang terinfeksi menunjukkan tanda klinik. Di daerah endemik BEF dapat menginfeksi sapi-sapi muda setelah antibodi maternal habis atau hilang, yaitu pada umur 3 - 6 bulan. Di daerah non endemik sapi semua umur sangat rentan terhadap BEF.

5.     Cara Penularan.

Nyamuk dari golongan Culicoides sp., Aedes sp. dan Culex sp. dapat bertindak sebagai vektor penyakit. Kejadian penyakit biasanya pada musim hujan, di mana banyak ditemukan serangga. Penyakit dipindahkan dari sapi sakit ke sapi sehat melalui gigitan serangga. Penularan secara langsung belum pernah dilaporkan. Secara buatan penyakit dapat ditularkan dengan menyuntikkan 0,002 ml darah sapi sakit yang sedang menunjukkan gejala demam, secara intravena.

6.     Distribusi Penyakit

Penyakit BEF pertama kali ditemukan tahun 1867 pada sapi di Afrika Tengah. Selain di Afrika, penyakit ini juga ditemukan di Asia dan Australia. Penyakit dilaporkan di Australia tahun 1936. Pada tahun 1920 di Sumatera pernah dilaporkan kejadian penyakit ini. Pada tahun 1979 penyakit yang sama muncul kembali di Kabupaten Tuban. Penyakit BEF dapat ditemukan di daerah tropis maupun subtropis. Penyakit bersifat sporadis di beberapa daerah di Indonesia, seperti Nusa Tenggara, Jawa dan Kalimantan.


D.  PENGENALAN PENYAKIT

1.     Gejala Klinis

Gejala awal yang muncul adalah demam tinggi secara mendadak (40,5 – 41°C), nafsu makan hilang, peningkatan pernafasan dan kesulitan bernafas (dyspneu), diikuti dengan keluarnya Ieleran hidung dan mata (lakrimasi) yang bersifat serous. Jalan kaku dan pincang karena rasa sakit yang sangat, kemudian dapat terjadi kelumpuhan dan kesakitan pada kaki, otot gemetar serta lemah. Kekakuan mulai dari satu kaki ke kaki yang lain, sehingga hewan tidak dapat berdiri selama 3 hari atau lebih. Leher dan punggung mengalami pembengkakan. Produksi susu menurun dengan tajam. Kadang- kadang pada tahap akhir kebuntingan diikuti adanya keguguran. Gambaran darah dalam fase demam menunjukkan adanya kenaikan jumlah neutrofi l dan penurunan limfosit. Biasanya dijumpai lekositosis pada awal penyakit, kemudian diikuti dengan lekopenia.

2.     Patologi 

Pada persendian sapi yang diserang BEF banyak ditemukan penimbunan cairan keruh kekuningan yang segera membeku apabila kapsul persendian dibuka. Jumlah cairan yang berlebih dalam rongga badan dan kantong perikard, bendungan selaput lendir abomasum, nekrosis fokal pada otot kerangka dan kulit. Seringkali ditemukan pembengkakan limfoglandula, emfi sema pulmonum dan bronkhitis.

3.    Diagnosa

Diagnosa penyakit dapat didasarkan atas gejala klinis, isolasi dan identifi kasi virus. Secara serologi antibodi dapat dideteksi dengan CFT (complemnt fixation test), serum neutralization test (SNT), Agar Gel Precipitation Test (AGPT) dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) yang diambil pada saat kondisi akut dan konvalesen. Secara molekuler virus BEF dapat didiagnosa dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), dot blot hybridization dan sequencing.

4.    Diagnosa Banding

Seringkali BEF dikelirukan dengan infeksi Septicaemia Epizootica (SE), Surra, Infectious Bovine Rhinotracjheitis (IBR), virus Parainfl uenza-3, virus respiratory syncytial dan bovine adenovirus.

5.    Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Untuk isolasi virus dengan cara inokulasi pada otak mencit, spesimen yang diambil berupa darah dengan antikoagulan Ethylene Di-amine Tetra Acetic acid (EDTA). Sementara itu untuk uji serologi, diperlukan sepasang serum yang diambil pada fase akut dan konvalesen dengan jarak pengambilan 2 - 3 minggu. Hewan yang sembuh dari sakit biasanya menghasilkan titer antibodi yang tinggi dan dapat dideteksi dengan AGPT, SNT dan ELISA.

6.    Pengobatan

Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit BEF. Pemberian antibiotika berspektrum luas dianjurkan untuk mencegah infeksi sekunder dan multi vitamin untuk mengatasi adanya stress.


E.  PENGENDALIAN 

Pencegahan terhadap BEF dilakukan dengan pemberian vaksin hidup yang dilemahkan dan vaksin inaktif. Pengendalian dan pemberantasan harus diperhatikan peranan serangga pengisap darah yang diduga memegang peranan dalam penyebaran penyakit dan pemakaian insektisida untuk membunuh serangga di sekitar daerah terjangkit dan mengisolasi hewan sakit.



DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 1995. Manual Laboratorium, Isolasi dan Identifi kasi Agen enyakit

Mamalia dan Unggas. Eastern Island Veterinary Service Project dan BPPH VI, Denpasar, Bali.

Anonimus 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal

Peternakan dan Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta.

Rowkands S 2010. Double take on bovine illness threat. The Land.

www.cattletoday.com/forum/viewtopic.php?f=7&t=63565.

www.lookfordiagnosis.com

www.springerimages.com

Penyakit Viral Pada Ternak (Diare Ganas Pada Sapi)

 DIARE GANAS PADA SAPI


Sinonim : Bovine Viral Diarrhea-Mucosal Disease (BVD-MD), Bovine Virus Diarrhea



A.  PENDAHULUAN

Diare ganas pada sapi adalah penyakit viral yang infeksius pada sapi, ditandai stomatitis erosif akut, gastroenteritis dan diare. Laju infeksi penyakit ini pada kebanyakan populasi sapi sangat tinggi, tetapi kejadian klinisnya rendah. Virus ini bersifat teratogenik dan imunosupresif yang banyak didapat pada bentuk penyakit kronis. Penyakit ini terdiri dari dua bentuk penyakit, yakni bovine virus diarrhea (BVD) dan mucosal disease (MD), yang secara klinis berbeda, tetapi penyebabnya sama.


B.  ETIOLOGI

Virus Diare Ganas (DG) merupakan virus RNA, termasuk anggota genus Pestivirus, famili Flaviviridae. Virus DGS BVD memiliki hubungan antigenik yang mirip dengan virus penyebab Sampar Babi (Hog Cholera). Semua strain virus DGS BVD menunjukkan reaksi silang. Partikel virus berbentuk bulat, mempunyai tiga macam ukuran. Pertama berukuran 80 -100 nm, pleomorf, merupakan virion matang yang mempunyai selaput. Kedua berukuran 30 - 50 nm, dan ketiga partikel kecil dengan ukuran 15-20 nm yang dianggap mengandung antigen larut. Diduga virion besar itu pecah dan menjadi sejumlah partikel-partikel kecil yang masing -masing masih tetap infeksius.


(Sumber : Heinrich Pette Institue, Leibniz Istitue for Experimental Viroolgy)

C.  EPIDEMIOLOGI

1.     Sifat Alami Agen

Virus DGS BVD peka terhadap RNAse dan dapat diektraksi dengan fenol dari virionnya. Partikel virus yang matang peka terhadap ether, kloroform dan pelarut lemak lainnya. Virus juga peka terhadap pH rendah dan segera inaktif pada suhu 56°C. Virus stabil pada suhu rendah dan dapat hidup bertahun- tahun bila dikeringbekukan dan disimpan pada suhu -70° C.

2.     Spesies Rentan

Sapi merupakan spesies yang peka terhadap DGS BVD. Penyakit sering ditemukan pada sapi umur 6-24 bulan. Hewan berkuku genap lainnya, seperti kambing, domba, kerbau dan rusa juga rentan terhadap DGS BVD.

3.     Pengaruh Lingkungan

Diperkirakan kejadian penyakit meningkat pada musim dingin, dan kasus dapat terjadi baik pada hewan yang dilepas maupun yang dikandangkan. Penyakit DGS BVD lebih umum terjadi pada sapi potong dibanding pada sapi perah. Pada anak sapi, penyakit biasanya terjadi pada umur 6 -10 bulan.

4.     Sifat Penyakit

Bentuk penyakit ini sangat variatif. Penyakit dapat berupa diare (39%), radang paru (35%), lesi pada mulut (11%), lesi mata (10%) dan keguguran (5%). Pada sekelompok ternak yang belum terserang penyakit ini, jika terjadi wabah DGS BVD, morbiditas mencapai 25 % dan mortalitas dapat mencapai 90 - 100 %. Jika penyakit sudah masuk pada satu peternakan, maka kasus baru yang terjadi bersifat sporadik. Pada sapi yang digemukkan, penyakit biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah sapi datang dan bersifat sporadik, hal ini terjadi jika sapi berasal dari peternakan bebas DGS BVD bercampur dengan sapi yang sakit atau sapi pembawa penyakit.

5.     Cara Penularan

Penyebaran penyakit terjadi secara kontak langsung dan tidak langsung melalui makanan yang terkontaminasi feses dan secara aerosol. Walaupun cara utama penyebaran penyakitnya melalui makanan yang tercemar feses, penyakit juga dapat menyebar melalui urin dan leleran hidung hewan sakit. Sapi dapat tertular virus dari domba dan sebaliknya. Sapi dapat menjadi sumber penularan bagi hewan liar yang ada di sekitar peternakan.

6.     Distribusi Penyakit

Di Indonesia penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1985 di Sulawesi dan Kalimantan, ketika terjadi wabah berat yang dikenal sebagai wabah diare ganas pada sapi (DGS). Selanjutnya dalam kurun waktu yang tidak lama penyakit ini timbul di tempat lain, baik di pulau Sulawesi ataupun di pulau lainnya.


D.  PENGENALAN PENYAKIT

1.    Gejala klinis

a. Bentuk subklinis

Bentuk ini merupakan bentuk yang paling banyak dijumpai di Amerika Serikat dan daerah enzootik lainnya. Gejalanya meliputi demam yang yang tidak begitu tinggi, lekopenia, diare ringan dan secara serologis ditemukan antibodi dengan titer yang tinggi.

b. Bentuk akut

Bentuk akut penyakit terjadi pada sapi muda umur 6 – 24 bulan. Sapi muda kurang dari 6 bulan atau sapi dewasa lebih dari 2 tahun terserang DGS bentuk akut ini. Secara alami masa inkubasi penyakit berjalan 1-3 minggu, pada infeksi percobaan gejala klinis terlihat setelah 4-10 hari.

Suhu hewan sakit sedikit meningkat disertai dengan menurunnya jumlah leukosit hingga 50 %. Kenaikan suhu tubuh terulang kembali pada hari ke 7-8 setelah percobaan. Kedua kenaikan suhu tubuh ini pada kasus di alam jarang teramati, gejala klinis yang segera terlihat adalah turunnya produksi susu, kelesuan yang sangat, nafsu makan turun, dan temperatur tinggi 410C kelihatan bersamaan. Diare biasanya profuse dan berair, berbau busuk berisi mukus dan darah. Lesi pada mukosa pipi terbentuk sebagai akibat nekrosis epitel mukosa. Erosi ini tejadi pada bagian bibir, bagian belakang langit-langit keras, gusi, sudut mulut dan lidah. Pada kasus akut seluruh rongga mulut terlihat seperti dimasak, dengan epithel nekrosis berwarna abu- abu menutupi bagian dasar berwarna merah muda. Biasanya air liur dikeluarkan dalam jumlah banyak, dan bulu sekitar mulut terlihat basah. Lesi yang sama didapatkan juga pada cuping hidung. Jika hewan cepat sembuh, lesi pada mukosa menyembuh dalam waktu 10 - 14 hari, tetap pada DGS kronis erosi yang baru akan muncul kembali, terutama pada sudut mulut. 

Biasanya terlihat adanya leleran hidung mukopurulen akibat adanya erosi pada hidung bagian luar dan erosi pada faring. Edema korneal dan Iakrimasi kadang terlihat juga. Pada bentuk akut ini, dehidrasi dan kelesuan berlangsung sangat cepat, dan kematian terjadi pada 5 - 7 hari setelah gejala klinis terlihat. Pada kasus perakut kematian terjadi pada hari ke 2. Beberapa hewan yang sakit dapat berkembang ke bentuk DGS kronis yang berlangsung sampai beberapa bulan. Kepincangan terlihat pada beberapa hewan sakit akut, dan ini nampaknya akibat radang pada teracak (Iaminitis) dan lesi erosif kulit pada celah interdigital yang umumnya terjadi pada keempat kakinya. Radang korona kaki (coronitis) dan kelainan teracak akan terlihat pula. 

Sapi betina bunting dapat mengalami keguguran sebagai akibat infeksi, biasanya setelah fase akut terlewati, dan kadang-kadang sampai 3 bulan setelah sembuh, tetapi keguguran ini jarang terjadi.

c. Bentuk sub akut atau kronis

Pada sapi yang bertahan hidup, tetapi tidak sembuh benar, terlihat diare, kekurusan yang berlangsung cepat, bulu terlihat kasar dan kering, kembung kronis, kelainan teracak dan erosi kronis pada rongga mulut dan pada kulit.

Pada kasus kronis hewan dapat bertahan hidup hingga 18 bulan, dan selama itu hewan mengidap dengan anemia, Ieukopenia,neutropenia dan lymphopenia (pancitopenia).

d. Bentuk neonatal

Bentuk ini banyak dijumpai pada pedet dengan umur kurang dari 1 bulan, yang ditandai dengan suhu yang tinggi, diare, serta gangguan pernafasan. Pedet penderita kebanyakan berasal dari induk yang sakit atau induk dengan kekebalan rendah. Infeksi umumnya terjadi pasca kelahiran dan pada infeksi prenatal terjadi sindrom kelemahan pedet dan diikuti dengan diare.


Gambar 2. Anak sapi menunjukkan diare profus.

(Sumber : Merck Animal Health)

2.     Patologi

Bangkai penderita tampak kurus, dehidrasi, di daerah sekitar anus kotor dan mata cekung. Lesi ditemukan terutama pada alat pencernaan berupa erosi, bercak-bercak atau tukak yang jelas terbatas dengan tepi yang tidak teratur dengan diameter 1-5 μm. Lesi tersebut terdapat pada moncong, hidung, pipi bagian dalam, gusi, langit-langit bagian lateral dari lidah, rongga tekak, kerongkongan, abomasum dan usus halus. Erosi dalam selaput lendir mulut paling jelas pada langit-langit keras dan gusi sekitar gigi. 

Lesi yang khas terdapat pada kerongkongan berupa erosi yang jelas berbatas tersusun berderet -deret dengan dasar yang berwarna merah. Abomasum mengalami pendarahan, edema dan nekrosis. Pada usus halus ulser ditemukan pada selaput lendir peyer patches. Ulser dapat meluas ke jaringan limfoid, sehingga menyebabkan pendarahan ke dalam rongga usus. Perdarahan dapat terjadi pula pada abomasum. Perdarahan kadang- kadang dijumpai pada jaringan bawah kulit, selaput vagina dan epikardium.

Kelenjar limfe pada usus biasanya normal atau sedikit udematus, sedang kelenjar limfe servikal retrofaringeal membesar. Secara histopatologik tampak perubahan yang mendasar berupa degenerasi sel. Di tempat yang mempunyai epitel berlapis, sel yang dekat dengan lapisan basal mengalami degenerasi hidropik, membengkak dan akhirnya nekrotik yang jika lepas timbul erosi. Pada abomasum tampak kelenjar lambung mengalami atropi dan membentuk kista. Pada Iamina propia dan submukosa biasanya terjadi edema, pembendungan atau pendarahan, serta infi ltrasi leukosit. Pada usus halus perubahan yang nyata terjadi pada peyer petches dengan epitel yang nekrotik sedangkan kelenjar menjadi cystic. Jaringan limfoid mengalami nekrosis terutama pada germinal center, populasi limfosit berkurang secara menyolok dan dapat pula terjadi pendarahan. Pembuluh darah yang mengalami perubahan dapat dijumpai pada media arteriole di submukosa alat pencernaan dan yang sering menonjol pembuluh darah pada germinal center. Perubahan seperti pada usus halus dapat pula dijumpai pada selaput lendir kolon, sekum, dan rektum yang bervariasi dari radang kataral sampai radang nekrotik.

3.     Diagnosa

Secara klinis dan patologik anatomik tidak mudah ditetapkan, oleh karenanya diagnosa yang pasti dapat dilakukan dengan uji serologik dan isolasi virus dengan kultur jaringan. Pada stadium demam, virus dapat diisolasi dari leukosit, limpa, kelenjar limfe, selaput lendir dan usus halus. Isolasi biasanya dilakukan dengan kultur jaringan sel lestari yang berasal dari ginjal embrio sapi (Mardin Darby Bovine Kidney), jaringan limpa dan testis dengan ditandai cytopathogenic effect (CPE) (tipe patogenik) dan ada yang non CPE (non patogenik). Virus diidentifi kasi dengan uji virus neutralization (VN) atau dengan fluorescene antibody technique (FAT). Diagnosa kawanan ternak dapat dilakukan dengan pasangan serum dengan complement fi xation test (CFT).

4.     Diagnosa Banding

DGS secara klinis bisa dikelirukan dengan malignant catharal fever (MCF). MCF merupakan penyakit yang sporadik, demam yang lama, disertai radang mata dan radang saluran pencernaan. Sering pula dikelirukan dengan infectious bovine rhinotrachetis (IBR), tetapi di sini perubahan terutama pada saluran pernafasan tanpa erosi pada mulut, esofagus dan usus, sedangkan pada rinderpest penyakit berlangsung lebih hebat dan cepat meluas dengan mortalitas yang tinggi. Penyakit lain yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosa adalah penyakit jembrana pada sapi bali.

5.     Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Bahan pemeriksaan yang dapat diambil adalah darah, urin, lendir dari hidung atau mulut pada stadium akut. Bahan lain yang mengandung virus yang dapat diambil waktu nekropsi adalah limpa, sumsum tulang kelenjar limfe dan usus. Bahan- bahan tersebut diambil secara steril dan dikirim sesuai dengan pengiriman bahan untuk isolasi dan identifi kasi virus.

E.  PENGENDALIAN

1.     Pengobatan

Pengobatan secara khusus terhadap DGS tidak ada. Pengobatan dapat dilakukan secara sistematis untuk mencegah, mengurangi infeksi sekunder dan mengurangi kekurusan yang melanjut. Makanan diganti dengan makanan yang lunak tapi bergizi (konsentrat).

2.     Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

Langkah yang perlu diambil adalah kebersihan lingkungan dan alat- alat kandang. Kelompok sapi yang sakit diisolasi dan dilarang dipindahkan ke kelompok sapi yang sehat. Pemasukan sapi atau spesies rentan dari negara tertular harus bebas dari DGS. Vaksin yang dibuat dari virus yang dipasasekan pada kelinci atau vaksin yang dibuat dari sel kultur ginjal sapi sangat efektif, tetapi sering timbul komplikasi sesudah vaksinasi. Vaksin yang dibuat dari virus yang dibiakkan pada sel ginjal babi dewasa ternyata sangat efektif dan tidak menimbulkan efek samping.

Untuk daerah yang sebelumnya belum tertular dilakukan stamping out. Kalau oleh sesuatu hal penyakit tersebut telah menjadi berkembang, tindakan pemberantasan terutama dilakukan terhadap penderita klinis.


DAFTAR PUSTAKA

Anonimus 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal

Peternakan dan Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta.

Blood DC, OM Radostis, JA Henderson, JH Arundel and CC Gay 1985. Veterinary Medicine. 6”’ Ed. Balliere Tindall. London. England.

Heinrich Pette Institue, Leibniz Istitue for Experimental Virology.

Merck Anmal Health.

Penyakit Viral Pada Ternak (AKABANE)


 


AKABANE

Sinonim : Arthrogryposis Hydranencephaly



A.  PENDAHULUAN

Akabane adalah penyakit menular non contagious yang disebabkan oleh virus dan ditandai dengan adanya Arthrogryposis (AG) disertai atau tanpa Hydraencephaly (HE). Hewan yang peka adalah sapi, domba dan kambing. Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit Akabane ialah keguguran, mumifi kasi fetus dan kelahiran cacat.

B.  ETIOLOGI

Penyakit Akabane disebabkan oleh virus yang diklasifi kasikan pada RNA virus yang termasuk sub grup Simbu dan famili Bunyaviridac. Virus Akabane berbentuk bulat dan mempunyai ukuran antara 70-130 nm. Virus ini dapat mengaglutinasi sel darah merah angsa, itik dan burung dara.

Gambar 1. Struktur virus Akabane.



(Sumber:http://www.ndr.de/regional/mecklenburg-vorpommern/schmallenbergvirus113_v-contentgross.jpg)


C.  EPIDEMIOLOGI

1.     Sifat Alami Agen

Virus Akabane mempunyai sifat antara lain mempunyai amplop, sensitif terhadap ether dan labil dengan pengaruh asam dan trypsin.

2.     Spesies rentan

Sapi, domba dan kambing adalah spesies rentan terhadap penyakit Akabane. Di daerah yang sebagian besar ternaknya sudah terinfeksi virus Akabane pada masa mudanya, jarang sekali atau hampir tidak ada laporan tentang adanya gejala AG dan HE. Sapi, domba dan kambing bunting yang dimasukkan dari daerah bebas ke daerah terinfeksi merupakan hewan yang paling rentan dan sebagai akibatnya adalah dapat terjadi abortus, mumifi kasi, fetus lahir mati, dan fetus dengan gejala AG dan HE.

3.     Sifat Penyakit

Kejadian penyakit biasanya bersifat sporadik akan tetapi kondisi ini dapat berubah menjadi kejadian penyakit yang bersifat epidemik.

4.     Cara Penularan

Penularan penyakit Akabane adalah melaui gigitan vektor Culicoides sp. Di Australia C. brevitursis adalah vektor yang utama.

5.     Kejadian di Indonesia

Secara serologik ditemukan zat kebal terhadap Akabane pada sapi - sapi di Indonesia. Penyakil Akabane dicurigai di Jawa Tengah pada sapi perah impor dari Australia yang melahirkan pedet dengan gejala AG, mumifi kasi fetus, abortus dan HE yaitu pada tahun 1981.


D.  PENGENALAN PENYAKIT

1.     Gejala Klinis

Penyakit Akabane ditandai dengan adanya cacat tubuh pada keturunan yang dilahirkan dan hewan yang terinfeksi. Cacat tubuh dapat berupa arthrogryposis yaitu pembengkakan persendian yang bersifat primer pada kaki dan kondisi ini biasanya terjadi bilateral; skoliasis yaitu pembengkokan tulang punggung, otot gerak mengalami atropi sehingga pedet yang dilahirkan tidak dapat berdiri. 

Apabila yang terserang susunan syaraf pusat maka akan terlihat adanya hydroencephaly. 

Pada induk sapi yang sedang bunting dapat terjadi keguguran, kelahiran dini, lahir mati atau mumifikasi fetus.

Gambar anak sapi yang terkena gejala AG



2.     Patologi

Perubahan pada pedet yang dilahirkan terlihat adanya AG, otot gerak tampak pucat dan mengalami edema, adanya skoliasis, serta HE yang kadang-kadang ditemukan adanya rongga pada pons, medulla, dan cervical spinal cord.

Gambar otak sapi yang terkena Akabane


3.     Diagnosa

Sapi bunting yang diduga terinfeksi virus Akabane akan mengalami abortus atau lahir mati dan ditemukan adanya AG atau HE yang bersifat kongenital serta terjadi secara sporadik atau endemik. Dapat pula dilakukan Hemaglutination Inhibitation Test dan Netralization Test. Antibodi dapat dideteksi pada fetus atau pada serum pedet sebelum diberi kolostrum. Isolasi dan identifikasi dapat dilakukan dengan inokulasi otak fetus pada anak tikus putih atau pada biakan jaringan yaitu BHK-21 atau HM Lu-1 sel.

4.     Diagnosa Banding

Harus dibedakan dengan kejadiaan abortus, lahir dini atau lahir mati yang disebabkan oleh infeksi virus IBR. Kejadian abortus dan cerebellar hypoplasia yang disebabkan oleh infeksi virus BVD-MD.

5.     Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Spesimen yang tepat adalah berupa serum asal fetus karena keguguran pedet lahir dini atau pedet dengan gejala AG dan HE. Specimen diambil secara aseptik dan pre-kolostrum. Paired sera induk sapi diambil pada waktu hewan sedang sakit dan pada fase konvalesen dengan internal 2-3 minggu. 

Untuk isolasi virus dapat diambil spesimen berupa otak, limpa, darah, cairan cerebro spinalis dari fetus. Keseluruhan spesimen tersebut di atas harus dikirim segera dalam keadaan segar dingin ke laboratorium veteriner terdekat.


E.  PENGENDALIAN 

a.     Pengobatan

Belum ada pengobatan untuk abortus, lahir mati atau kelahiran anomali.

b.    Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

Vaksinasi perlu dipertimbangkan bila banyak hewan yang terserang atau menimbulkan kerugian yang besar. Di Jepang pembuatan vaksin aktif dan inaktif secara komersial sudah diproduksi.

Pengendalian vektor penyebab penyakit yaitu dengan spraying mungkin dapat mencegah penyakit Akabane meluas. Untuk penolakan penyakit, maka dapat dilakukan penolakan pemasukan sapi bunting dari negara tidak bebas penyakit Akabane. Bila terpaksa harus melakukan pemasukan hewan dari negara bebas ke negeri terserang hanya untuk hewan -hewan muda saja, karena hewan muda ini diharapkan mendapat kekebalan melalui infeksi alam sebelum bunting.



DAFTAR  PUSTAKA

Anonimus 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta.

Kokrs Robert F 1981. Viral Disease of Castle, the Iowa State University Press. Ames, Iowa page 245-249.

The Center for Food Security & Public Heath. Iowa State University.

http://muvetmed.agr.iwate-u.ac.jp/gif/tenji/5.gif.

Contact Us

Phone :

+20 010 2517 8918

Address :

3rd Avenue, Upper East Side,
San Francisco

Email :

email_support@youradress.com

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Halo! My name is Nur Sabrina Zahratun Nisa, biasa dipanggil Sabrina klo ga Ara tapi ketika kuliah sekarang lebih sering dipanggil "sabi" sama "ra" biar ringkas. Blog yang berisi materi tentang dunia peternakan karena sendernya sendiri kuliah jurusan peternakan di salah satu perguruan tinggi dan berisi materi berhubungan dengan persiapan tes TOEFL. Bercita-cita kuliah S2 ke luar negeri dengan beasiswa dan bisa ikut pertukaran pelajar selama menjadi mahasiswa~ Doakan perjalanan sender lancar-lancar yaa^^